Powered By Blogger

Minggu, 13 Januari 2013

Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi



Pendahuluan

Pangan, baik nabati maupun hewani dibutuhkan oleh manusia untuk mempertahankan kehidupannya sebagai sumber karbohidrat (energi), protein, lemak, vitamin, mineral dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, maka yang diharapkan adalah pangan yang aman untuk dikonsumsi yang berarti tidak menimbulkan efek negatif apapun bagi yang mengkonsumsinya. Untuk itu maka pemilihan sumber bahan pangan dan cara pengolahannya menjadi dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Kemanan  pangan dapat ditinjau  dari  berbagai  aspek,  yaitu fisik,  kimia, mikrobiologi serta biokimia dan gizi. Dalam materi kuliah ini, pembahasan akan diutamakan dari aspek biokimia pangan dan gizi yang akan dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sub topik sebagai berikut:

1. Komponen   alami   pangan   yang   dapat   bersifat   sebagai   antinutrisi
(Handout 1)

2. Komponen alami pangan yang bersifat sebagai toksikan (Handout 2)

3. Bahan tambahan pangan (Handout)


1. Komponen alami pangan yang bersifat sebagai antinutrisi

Bahan pangan, terutama bahan nabati, secara alami dapat mengandung senyawa antinutrisi yaitu senyawa-senyawa yang dapat menurunkan nilai gizi bahan pangan tersebut. Adapun berbagai senyawa antinutrisi yang telah banyak dipelajari dan diteliti antara lain adalah antitripsin-antikimotripsin, hemaglutinin, saponin, fitat, oligosakarida penyebab flatulensi dan tanin. Selain dikenal sebagai senyawa antinutrisi, senyawa yang terakhir ini juga dikenal sebagai senyawa antioksidan yang bermanfaat bagi tubuh. Peranannya sebagai antinutrisi atau antioksidan dipengaruhi keberadaannya dalam bahan pangan dan oleh kondisi fisiologis di dalam tubuh.

Pada umumnya faktor-faktor antinutrisi dalam bahan pangan dapat diinaktifkan melalui proses pengolahan. Namun terkadang proses pengolahan tidak dilakukan dengan cara yang benar sehingga ada kemungkinan senyawa


tersebut belum hilang, terutama untuk senyawa-senyawa yang tahan terhadap proses pemanasan.  Keberadaan senyawa antinutrisi dalam bahan pangan dapat mengakibatkan  penurunan  nilai  gizinya  secara  biologis.                                                                          Seringkali  nilai  gizi protein secara biologis tidak selalu berkorelasi positif dengan skor kimia protein yang dihitung berdasarkan kandungan asam-asam amino esensialnya. Hal ini disebabkan karena adanya faktor antinutrisi yang dapat berikatan dengan protein sehingga menyebabkan daya cerna protein tersebut berkurang.  Bahan pangan yang banyak mengandung senyawa antinutrisi adalah kacang-kacangan dan serealia, sehingga pengolahannya harus mendapatkan perhatian yang serius terutama apabila akan digunakan untuk balita yang sedang dalam masa pertumbuhan dan memerlukan keberadaan protein dengan kualitas yang baik.

a. Antitripsin

Antitripsin     adalah     senyawa    yang    mempunyai    kemampuan    untuk menghambat  aktivitas  enzim  proteolitik  dan  telah  ditemukan  dalam  bahan pangan terutama kacang-kacangan dan serealia.                             Antinutrisi sebagai inhibitor protease merupakan protein dengan berat molekul yang relatif kecil bervariasi antara 4.000 – 80.000 dan yang telah banyak dipelajari adalah yang terdapat dalam kacang kedelai.

Jenis. Terdapat sekitar lima atau enam jenis inhibitor protease yang diidentifikasi terdapat dalam kacang kedelai dan yang banyak dipelajari adalah yang pertama kali diisolasi dan dikarakterisasi oleh Kunitz pada tahun 1945 dan oleh karena itu disebut inhibitor Kunitz.

Mekanisme penghambatan. Penghambatan enzim proteolitik (tripsin dan kimotripsin)   oleh   senyawa   antitripsin   terjadi   karena   pembentukan   ikatan kompleks antara enzim proteolitik dan senyawa antitripsin, jadi karena adanya interaksi  proteion-protein.  Pertama,  akan  terjadi  pemutusan  ikatan  disulfida antara arginin-isoleusin pada senyawa inhibitor oleh enzim tripsin untuk membentuk senyawa inhibitor modifikasi.  Selanjutnya terjadi ikatan antara gugus hidroksil serin yang terdapat pada sisi aktif enzim tripsin dan gugus karbonil arginin yang terdapat pada senyawa inhibitor modifikasi yang baru dibebaskan. Senyawa kompleks                   tripsin-inhibitor                        yang    terbentuk    menyebabkan   enzim proteolitik tersebut kehilangan aktivitasnya sehingga tidak mampu memecah protein dan menyebabkan daya cerna protein akan menurun.             Daya hambat suatu senyawa inhibitor terhadap aktivitas enzim tripsin berbanding lurus dengan jumlah senyawa inhibitornya. Mekanisme penghambatan secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6.1.

Pengaruh fisiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung kedelai mentah     setelah                dihilangkan                    lemaknya    menghambat    pertumbuhan    tikus percobaan, menurunkan absorpsi energi dan lemak, mengurangi daya cerna protein, menyebabkan hipertrofi (pembesaran) pankreas, menstimulir sekresi enzim yang berlebihan dari pankreas dan mengurangi ketersediaan asam-asam amino, vitamin dan mineral. Faktor antitripsin berperanan penting dalam penghambatan pertumbuhan (30-50%) dan terjadinya hipertrofi pankreas (100%) pada hewan percobaan setelah diberi ransum kedelai mentah. Namun demikian, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa antitripsin hanya bertanggung jawab terhadap 40% penghambatan pertumbuhan dan terjadinya hipertrofi pankreas hewan percobaan setelah mengonsumsi kedelai.

Mekanisme terjadinya hipertrofi pankreas dihipotesakan bahwa derajat sekresi enzim tripsin dari pankreas ditentukan oleh konsentrasi enzim bebas di


dalam usus, sehingga apabila konsentrasi enzim tersebut menurun sampai batas

Inhibitor aseli
S  –—     S

1                               64

65    

198

H2N - Asp ———— Arg - Ile —————— Leu COOH

S ———————  S


H2N - Asp ———— Arg - COOH       H2N - Ile —————— Leu - COOH
|                                                                 |
S ——————————————–  S

Inhibitor modifikasi (aktif)



Tripsin


Ser - CH2OH

Kompleks
Tripsin-Inhibitor

| — S
Ile
| NH




—— Arg - COOH      H2N – Ile —— S ————————————S
Inhibitor modifikasi

Tripsin                O
|| Ser - CH2 - O - C

Arg
|



Gambar 6.1.  Mekanisme pemghambatan enzim proteolitik oleh senyawa antitripsin.


tertentu, maka pankreas akan bekerja untuk memproduksi enzim lebih banyak lagi.  Sebaliknya apabila konsentrasi enzim tripsin dalam usus kembali normal, maka aktivitas pankreas tersebut akan dihambat.  Zat yang mengatur mekanisme ini adalah suatu hormon kolesistokinin (cholecystokinine; CCK) yang dapat merangsang aktivitas pankreas. Pelepasan CCK dari mukosa usus dapat dihambat  oleh  enzim  tripsin  bebas.     Berdasarkan  hipotesis  ini  tampak  jelas bahwa penurunan jumlah tripsin bebas dalam usus sebagai akibat adanya reaksi dengan     senyawa          antitripsin, akan           merangsang aktivitas                pankreas   untu memproduksi enzim dalam jumlah yang lebih banyak.  Sebagai manifestasinya maka akan terjadi hipertrofi (pembesaran) pankreas (Gambar 6.2).

Seperti tekah dijelaskan sebelumnya bahwa antitripsin kedelai berperan penting dalam penentuan nilai gizi protein bahan pangan melalui pengujian menggunakan hewan percobaan, namun demikian pengaruhnya terhadap manusia belum tampak jelas.       Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa enzim             tripsin    manusia    hanya    sedikit    dihambat    oleh    antitripsin    kedelai dibandingkan dengan enzim tripsin yang berasal dari sapi.          Pada umumnya penelitian antitripsin secara in vitro dilakukan menggunakan enzim tripsin yangberasal dari sapi, karena mudah diperoleh secara komersial.  Selain itu terdapat hubungan yang erat antara terjadinya hipertrofi pankreas dan berat pankreas relatif terhadap persentasi berat tubuh.  Pada spesies yang mempunyai


berat   pankreas    >   0.3%   berat    tubuhnya,   antitripsin   akan    menyebabkan pembesaran pankreas.  Sedangkan apabila berat pankreas < 0.3%, tidak akan menyebabkan  pembesaran  pankreas.      Berkaitan  dengan  hal  tersebut,  berat pankreas manusia < 0.3% barat tubuhnya, sehingga meskipun tepung kedelai mentah menyebabkan hipertrofi pankreas pada tikus, namun tidak demikian pada manusia.




TRIPSINOGEN (pankreas)

HORMON CCK / cholesistokinin
(mukosa usus)





PROTEIN (makanan)

TRIPSIN (usus)

ANTITRIPSIN







Proteolisis



Penyerapan


KOMPLEKS (tripsin-antitripsin)





Metabolism



feses


Gambar 6.2. Mekanisme sekresi enzim tripsin dari pankreas.


Analisis antritripsin in vitro. Penentuan kadar antitripsin dilakukan berdasarkan penurunan  kecepatan  hidrolisis  suatu  substrat  alami  (kasein)  atau  substrat sintetik (BAPNA; benzoil-DL-arginin-p-nitroanilid) oleh enzim tripsin.  Perubahan warna yang  terjadi  diukur menggunakan alat spektrofotometer  pada panjang gelombang 410 nm.  Satu satuan tripsin (trypsin unit, TU) didefinisikan sebagai peningkatan 0.01 satuan absorbansi pada panjang gelombang 410 nm per 10 ml campuran   reaksi   padakondisiyang         digunakan.                    Aktivitas                                inhibitortripsin dinyatakan sebagai satuan tripsin yang dihambat (trypsin unit inhibited, TUI).


b. Hemaglutinin

Hemaglutinin (fitohemaglutin; lektin) merupakan suatu senyawa antinutrisi lain yang juga terdapat dalam kacang-kacangan.  Telah disebutkan bahwa 40% penyebab  penghambatan  pertumbuhan  pada  tikus  percobaan  yang  diberi ransum kedelai mentah adalah antitripsin, maka 60% penyebab lainnya adalah rendahnya daya cerna protein kedelai yang belum terdenaturasi dan faktor antinutrisi  lainnya,  termasuk  diantaranya  adalah  hemaglutinin.  Hemaglutinin




                                                                                                                                                                              4

— S


adalah suatu glikoprotein yang mempunyai berat molekul (BM) antara 36.000-
132.000, tergantung dari derajat polimerisasinya.

Mekanisme penghambatan. Mekanisme aglutinasi oleh hemaglutinin diduga  terkait  dengan  pembentukan  ikatan  spesifik  antara  hemaglutinin  dan gugus  gula  yangterdapat  pada  permukaan  sel  darah  merah.                              Dugaan  ini didasarkan bahwa aglutinasi sel oleh hemaglutinin dapat dihambat oleh adanya gula tertentu. Hemaglutinin mempunyai kemampuan untuk mengikat sisi reseptor spesifik dari permukaan sel epitelial usus, sehingga mempengaruhi penyerapan zat gizi melalui dinding usus.  Hal ini terbukti secara in vitro bahwa pemberian hemaglutinin ke dalam ransum tikus percobaan menyebabkan penurunan daya cerna  protein.                Selain itu  dikatakan  pula bahwa hemaglutinin akan  bereaksi dengan sel enterosit brush border  usus bagian duodenal dan jejunal, sehingga menyebabkan                           terganggunya    proses    penyerapan    zat    gizi.    Keadaan    ini menyebabkan menurunnya kemampuan sel untuk menyerap zat-zatgizi dari saluran pencernaan, sehingga penyebabkan terhambatnya pertumbuhan.

Pengaruh  fisiologis.  Pengaruh  hemaglutinin  terhadap  manusia  masah sulit         dideskripsikan           sepanjang            didasarkan    pada                        hasil-hasil         penelitian menggunakan  hewan            percobaan.          Hemaglutinin      akan         hancur          dengan pemanasan,   sehingga   tidak   perlu   khawatir   untuk   mengonsumsi   kacang- kacangan atau bahan pangan lain yang mengandung hemaglutinin.                      Namun kadangkala proses pemanasan tidak dilakukan dalam suhu dan waktu yang tidak cukup sehingga inaktivasi total; hemaglutinin tidak tercapai.

Analisis hemaglutinin in vitro. Penentuan kadar hemaglutinin ditetapkan berdasarkan  kemampuannya  untuk  mengendapkan  atau  mengaglutinasi  sel darah merah yang dapat diamati baik secara visual maupun spektrofotometri.


c. Saponin

Saponin adalah suatu glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau genin.         Jumlah dan jenis gula-gula yang terdapat  dalam saponin bervariasi, antara lain glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa serta asam galakturonat  dan glukoronat.    Sapogenin dapat dibedakan  menjadi dua jenis,  yaitu sapogenin triterpenik dan steroidik.


d. Fitat

Asam fitat adalah bentuk utama fosfor dalam biji tanaman.   Senyawa ini sulit dicerna sehingga fosfor dalam fitat tidak dapat digunakan oleh tubuh. Masalahgizi    lain         yangdapat        ditimbulkan                       oleh   asam            fitat                adalah            karena kemampuannya dalam mengkelat mineral, terutama kalsium (Ca), magnesium (Mg), besi (Fe) dan seng (Zn), sehingga akan menurunkan ketersediaan mineral- mineral secara hayati.


e. Oligosakarida penyebab flatulensi

Oligosakarida merupakan senyawa yang mengandung ikatan a-galatosida yang dikaitkan dengan timbulnya flatulensi, yaitu suatu keadaan menumpuknya gas-gasdalam lambung.  Senyawa ini terdapat banyak dalam kacang-kacangan, biji-bijian dan hasil tanaman lainnya yang terutama terdiri dari rafinosa, stakiosa


dan verbaskosa (Gambar 6.3) dengan ikatan a-galakto-glukosa dan a-galakto- galaktosa.



a - G - Gal - (1 - 6) - a - D - Glu - (1 - 2) - b - D - Fru

Rafinosa





(a - G - Gal - (1 - 6))2 - a - D - Glu - (1 - 2) - b - D - Fru

Stakiosa





(a - G - Gal - (1 - 6))3 - a - D - Glu - (1 - 2) - b - D - Fru

Verbaskosa




Oligosakarida dari famili rafinosa tidak dapatdicerna karena mukosa usus mamalia tidak mempunyai enzim pencernaan a-galaktosidase, sehingga oligosakarida tersebut tidak dapat diserap oleh tubuh.  Karena tidak tercerna dan terserap maka rafinosa tersebut akan difermentasi oleh bakteri-bakteri yang berada di dalam saluran pencernaan sehingga menghasilkan gas-gas yang berupa karbon dioksida, hidrogen dan sejumlah kecil metan.  Proses fermentasi ini juga akan menyebabkan penurunan pH lingkungannya.

Flatulensi dianggap merupakan masalah yang cukup serius meskipun tidak berakibat toksik.  Suatu peningkatan gas dalam rektum akan menimbulkan gejala patologis antara lain: sakit kepala, pusing, perubahan kecil pada mental, penurunan daya konsentrasi dan oedema kecil.     Flatulensi juga bertanggung jawab pada timbulnya konstipasi intestinal serta diare.

Analisis oligosakarida penyebab flatulensi. Penentuan oligosakarida penyebab flatulensi dapat dilakukan dengan metode kromatografi gas, lapis tipis atau  kertas.            Dalam  metode  ini  oligosakarida  penyebab  flatulensi  (rafinosa, stakiosa, verbaskosa) dipisahkan berdasarkan berat molekulnya menggunakan kromatografi kertas atau yang lain.  Selanjutnya jenis oligosakarida yang terpisah dapat dideteksi dengan membandingkan jarak migrasi (Rf) molekul-molekul tersebut        dengan            standar.                 Adapun    jumlahnya    dapat        dihitung        dengan membandingkan antara luas spot (konsentrasi) sampel yang terbentuk dengan standar oligosakarida murni.


f. Tanin

Tanin merupakan salah satu senyawa polifenol yang dapat membentuk kompleks dengan protein yang bersifattidak larut.                                                 Senyawaini terdapatdalam berbagai tanaman, baik yang digunakan sebagai bahan pangan maupun pakan ternak.

Analisis    kadar    tanin.    Penentuan    kadar    tanin    didasarkan    reaksi pembentukan warna melalui reduksi ion feri menjadi ion fero oleh adanya tanin atau  senyawa  polifenol  lainnya,  yang  diikuti  oleh  pembentukan  senyawa kompleks ferisianida dan ion fero.  Senyawa yang terbentuk berwarna prussian blue  dan  intensitasnya  dapat  diukur  menggunakan  spektrofotometer  pada panjang gelombang 720 nm.


2. Komponen alami pangan yang bersifat toksik

Selain dapat mengandung senyawa antinutrisi, bahan pangan secara alami juga dapat mengandung senyawa-senyawa yang dapat bersifat toksik dan membahayakan bagi tubuh. Apabila faktor antinutrisi hanya berpengaruh dalam menurunkan nilai gizi bahan pangan sehingga tidak bersifat toksik dan mematikan, maka yang dimaksud senyawa toksik bersifatracun dan beberapa diantaranya           dapat                       menyebabkan                kematian   bagi    yang    mengonsumsinya. Mengingat jenis senyawa toksik ini sangat banyak, maka dalam modul ini hanya akan dibahas jenis-jenis senyawa toksik yang banyak terkandung dalam bahan pangan  yang  biasa  dikonsumsi  di  Indonesia antara  lain:  solanin,  sianogenik glukosida, gosipol, asam amino toksik (mimosin dan asam jengkolat) serta glukosinolat.

Selain terdapat secara alami, faktor toksik dalam bahan pangan juga dapat terbentuk  akibat  dari proses pengolahan.                                           Hal tersebut  dapat  terjadi karena dalam proses pengolahan sering ditambahkan bahan tambahan pangan kimiawi (food  additives)  yang  berlebihan  serta  akibat terjadinya reaksi  antar molekul dalam bahan pangan yang dapat mengakibatkan terbentuknya senyawa toksik, seperti nitrosamin dan lisinolalanin.


a. Solanin

Solanin termasuk dalam famili solanaceae yang merupakan kelompok tanaman yang penting artinya bagi kehidupan manusia, diantaranya adalah: kentang,  tomat  dan  cabe.     Akan  tetapi  banyak  diantara  tanaman  ini  yang mengandung             glikoalkaloid                           yang    dapat bersifat            racun                           bagi                 yang mengonsumsinya.  Hal  ini  disebabkan  karena  seringkali  senyawa  ini  berada dalam konsentrasi yang tinggi, misalnya dalam kentang yang berwarna hijau atau pada tomat hijau yang masih muda.                    Hampir semua kasus keracunan yang pernah terjadi pada manusia disebabkan oleh glikoalkaloid yang terdapat pada kentang, yaitu a-solanin dan a-cakonin.


b. Sianogenik glukosida

Sianogenik glukosida merupakan salah satu bentuk sianida yang dalam jumlah kecil banyak tersebar luas dalam berbagai tanaman.   Konsentrasi yang tinggi ditemukan di dalam rumput-rumputan tertentu, umbi-umbian dan kacang- kacangan.   Jenis tanaman ini sebagian besar digunakan untuk pakan, namun ada  juga  yang  dikonsumsi  manusia.     Diantara  tanaman  sumber  sianogenik glukosida yang banyak dikonsumsi manusia adalah ubi kayu, ubi jalar, jagung, sorgum,  bambu  (rebung),  tebu,  kacang-kacangan,  biji  almond,  jeruk,  appel, aprikot serta biji dari buah-buahan lainnya.

Jenis. Diantara sekian banyak jenis sianogenik glukosida yang paling banyak terkait dengan toksisitas pada manusia hanya ada 4 (empat) jenis, yaitu: amigladin, dhurrin, linamarin dan lotaustralin.      Amigladin diidentifikasi dari biji almond pahit dan biji buah-buahan lainnya. Dhurrin terdapat dalam sorgum dan rumput-rumputan                 lainnya.         Linamarin    (phaseoulunatin)    dan    lotaustralin (metillinamarin) adalah glukosida yang terdapat dalam kacang-kacangan, linseed (flax) dan ubi kayu.

Toksisitas.


Analisis kadar sianida (HCN).


c. Gosipol

Pigmen   gosipol   termasuk   senyawa   polifenolik   yang   terdapat   dalam tanaman genus Gossypium dan beberapa anggota ordo Malvales. Dalam tanaman kapas, pigmen ini terdapat di dalam pigment glands (kelenjar pigmen) yangdapat     ditemukan          baik          pada     daun,   batang,                     akar             maupun         bijinya. Terdapatnya gosipol di dalam biji kapas mempunyai pengaruh ekonomi yang besar, karena  meskipun biji kapas  merupakan hasil  samping  industri kapas, namun  banyak  juga  industri pengolah biji kapas  di  negara-negara  penghasil kapas. Hasil olahan biji kapastersebut berupa minyak biji kapas yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, misalnya untuk dibuat menjadi salad oil, margarin dan shortening.


d. Mimosin & asam jengkolat

Mimosin adalah asam amino bebas yang terdapat dalam tanman lamtoro (Leucaena leucocephala).  Perhatian pada senyawa ini meningkat karena daun lamtoro banyak digunakan untuk pakan ternak sedangkan biji lamtoro banyak dikonsumsi oleh manusia, sementara itu mimosin yang terdapat dalam tanaman lamtoro bersifat toksik.

Asam jengkolat adalah suatu asam amino bebas yang terdapat dalam biji buah jengkol.   Asam amino ini mengandung belerang, berada dalam keadaan bebasdan tersbar merata dalam buah jengkol.


e. Glukosinolat


Glukosinolat disebut juga tioglukosida dan sebgian besar senyawa  dari kelas  ini  dikenal  dengan  nama  trivialnya,  misalnya  sinigrin,  sinalbin  dan progoitrin.  Sebagian  besar   tanaman   dari  famili   cruciferae   mengandung glukosinolat, meskipun tanaman dari famili lain juga ada yang mengndung glukosinolat.    Sebagian besar tanaman cruciferae merupakan sumber pangan dan bumbu termasuk diantaranya adalak kubis dan lobak, yang mengandung glukosinolat dan apabila terhidrolisis akan menghasilkan flavor karakteristik tanaman tersebut.










Rangkuman


1.  Pangan, baik nabati maupun hewani dibutuhkan oleh manusia untuk mempertahankan kehidupannya, untuk itu maka pemilihan sumber bahan pangan dan cara pengolahannya menjadi dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan agardiperoleh bahan pangan yang aman untuk
dikonsumsi. Kemanan pangan dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu fisik, kimia, mikrobiologi serta biokimia dan gizi. Dalam materi kuliah ini, pembahasan akan diutamakan dari aspek biokimia pangan dan gizi yang akan dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sub topik sebagai berikut: (1) Komponen alami pangan yang dapat bersifatsebagai antinutrisi (handout 1);
dan (2) Komponen alami pangan yang bersifatsebagai toksikan (handout 2)
2.  Senyawa  antinutrisi  merupakan  kelompok  senyawa   yang  mempunyai antivitas penghambatan beberapa enzim proteolitik dalam tubuh sehingga dapat menurunkan ketersediaan hayati (bioavailabilitas) protein.  Beberapa senyawa antinutrisi yang telah banyak dipelajari adalah: antitripsin, antikimotripsin, hemaglutinin, saponin, fitat, oligosakarida penyebab flatulensi dan tanin.
3.  Selain dapat mengandung senyawa antinutrisi, bahan pangan secara alami juga dapat mengandung senyawa-senyawa yang dapat bersifat toksik dan membahayakan bagi tubuh. Apabila faktor antinutrisi hanya berpengaruh dalam menurunkan nilai gizi bahan pangan sehingga tidak bersifat toksik dan mematikan, maka yang dimaksud senyawa toksik bersifatracun dan beberapa    diantaranya     dapat                    menyebabkan  kematian                           bagi             yang mengonsumsinya.  Mengingat jenis senyawa toksik ini sangat banyak, maka dalam modul ini hanya akan dibahas jenis-jenis senyawa toksik yang banyak terkandung dalam bahan pangan yang biasa dikonsumsi di Indonesia antara lain:   solanin,   sianogenik   glukosida,   gosipol,   asam   amino   toksik (mimosin dan asam jengkolat) serta glukosinolat.







Daftar Pustaka

Adams MR, Robert Nout MJ. 2001. Fermentation and Food Safety. Aspen Publ., Maryland Proceedings,

De Vries I (ed). 1997. Food Safety and Toxicity. CRC Press, New York

Goldberg I (Ed). 1994. Functional Foods. Chapman and Hall, New York

Harris RS and Karmas E. 1988. Nutritional Evaluation of Food Processing. Third
Edition, AVI Publ, Westport

Helferich W, Winter CK. 2001.Food Toxicology.CRC Press,Boca Raton
Hodgson E and Levi PE. 2000. Modern Toxicology. McGraw Hill, Singapore (2nd
ed)

Langseth L. 1996. Oxidants,Antioxidants, and Disease Prevention. ILSI Europe, Brussels

Muchtadi, D. 1989. Aspek Biokimia dan Gizi dalam Keamanan Pangan. Pusat
Antar UniversitasPangan dan Gizi. IPB.

Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar UniversitasPangan dan Gizi. IPB.
Omaye S. 2004. Food and Nutritional Toxicology. CRC Press, Boca Raton, USA Schmidl MK, Labuza TP. 2000. Essentials of Functional Foods. Aspen Publ.
Maryland

Tidak ada komentar:

Posting Komentar